Hobi Cerita, Restu Mama dan Forum Lingkar Pena

Februari 15, 2018

Jauh sebelum kenal blog, aku sudah senang bercerita, sejak masih di bangku SD. Kadang bercerita lewat gambar-gambar yang kujelaskan panjang lebar alur ceritanya pada teman-teman yang mau mendengarkan. Dan aku baru sadar sekarang, mereka koq mau-mau saja ya mendengarkan ceritaku. Padahal gambarku juga enggak bagus-bagus amat, seadanya malah. Apa mungkin mereka kasihan semata, karena melihatku butuh pendengar? Hahaha. Ah entahlah. Aku sudah sangat berterima kasih pada mereka apapun alasannya.

Selain bercerita lewat gambar (sekali lagi aku tekankan, gambar yang kuguratkan sangat sederhana, jadi jangan membayangkan kalau aku jago menggambar ya, hehe), aku juga senang bercerita lewat tulisan.

Dan aku bisa menghabiskan berlembar-lembar tulisan di buku tulis biasa. Itu loh, buku tulis yang di setiap lembarnya selalu ada kata-kata motivasi terselip di bawahnya. Misal, yang paling aku ingat adalah : never put till tomorrow what you can do today. Uh yeah. Dulu saat membaca kamut itu berasa keren sekali. Tapi sampai sekarang, pengaplikasiannya butuh niat dan usaha extra ternyata.

Atau kadang-kadang, kalau lagi iseng, aku menulis cerita di halaman belakang. Jadi seperti menulis catatan berbahasa arab. Dari belakang ke depan. Maka, penuhlah halaman belakang buku-buku tulis aku dengan warna-warni cerita. Entah itu cerita karangan yang yang aku buat di sekolah, ataupun saat senggang di rumah.

Kegemaran menulis cerita terus berlanjut sampai ke jenjang berikutnya. Apalagi saat itu ada dua orang teman aku, Siti Masitoh dan Nur Ayu Sekar Ningsih, yang juga punya kegemaran serupa. Walaupun kita beda esempe alias SMP.

Bahkan kami sempat membuat novelet. Trio. Kami menulisnya gantian. Di buku yang sama. Temanya mengalir begitu saja, karena tergantung buku itu sedang ada di tangan siapa, hahaha. Dan tentu saja menulisnya langsung menggunakan pulpen alias tulis tangan. Bukan ketikan komputer. Karena, waktu itu belum ada fasilitas komputer. Kalaupun ada, masih sangat sulit kami temui rental-nya. Sekalipun menemukan rental-nya, uang sewanya lebih baik kami gunakan untuk jajan baklor alias martabak telor sepulang kami ngaji, hehehe.

Untuk itu, saking niatnya, aku pernah menulis sendiri beberapa novelet (tentu kaidahnya jauh dari sempurna sebagaimana novel yang telah diterbitkan penerbit), masih di buku tulis biasa, dan dibaca oleh beberapa teman yang senang membaca. Ada juga kakak kelas yang ikut membaca secara bergantian. Lalu ada yang berkomentar, bahwa cerita yang aku buat bagus sekali. Padahal itu cuma fiksi.  

Sejak saat itu aku makin semangat menulis. Dan makin senang membaca, karena amunisi menulis memang berawal dari membaca. Namun karena aku tak punya cukup uang untuk membeli majalah-majalah atau buku-buku selain buku pelajaran, maka perpustakaan sekolah merupakan tempat favoritku. Aku bisa menahan lapar pada jam istirahat, untuk aku gunakan sebanyak mungkin di perpustakaan.

Menjelang kelas tiga esempe, hobi menulisku redup. Karena, Mama tak suka aku menulis. Bagi Mama menulis itu buang waktu. Mama khawatir aku kebanyakan melamun dan tidak fokus pada pelajaran. Karena memang aku menulis tanpa panduan siapapun alias otodidak.
Hiks.

Semua buku tulis yang isinya cerita fiksiku, aku sobek-sobek sendiri. Kesel, sedih, kecewa. Karena hobiku tak direstui. Sejak saat itu  aku malas menulis. Enggak selera lagi menulis cerita, bahkan ketika diminta oleh teman yang suka membaca.

Sampai kelas dua esema alias SMA, aku kangen. Sudah dua tahun aku berhenti menulis. Aku kangen halaman belakang buku tulisku ada cerita karyaku lagi. Maka, tanpa sepengetahuan Mama, aku mulai menulis lagi. Masih di belakang buku catatan sekolah. Walau selalu tanpa ending, karena mogok ide di tengah jalan. Dan itu yang membuat Citra Asri Meida, teman sebangku, uring-uringan, “Dije, ini tulisan diselesaikan doooong! Enggak enak banget lagi seru-serunya baca tapi lanjutannya ilang gitu aja!”

Hahaha. Ah, terima kasih Citra. Kau komentator tulisanku yang paling setia.

Dan momen tak terlupakan itu pun datang.

Saat itu aku kelas tiga esema. Aku mengikuti lomba cerpen pada saat PIJAR, Perlombaan Islami Antar Pelajar, yang diadakan oleh Forum Komunikasi Dakwah Kampus UNSIKA. Alhamdulillah, cerpenku yang berjudul “Gerimis” berhasil mendapatkan juara dua. Namun, karena saat itu aku enggak punya gawai, jadi enggak bisa mendokumentasikannya. Tapi mungkin pialanya masih nangkring di lemari sekolah SMAN 1 Telukjambe. Itu juga kalau enggak kegusur piala siswa lain di generasi selanjutnya, maklum, aku kan udah termasuk generasi lawas sekarang, hahaha.

Yang lebih penting, setelah menjadi juara dua di lomba cerpen itu, alhamdulillah Mama akhirnya mengizinkanku melanjutkan hobi menulis. Bahkan, Mama sampai berurai air mata saat membaca Cerpenku yang berjudul “Gerimis” itu.

Apalagi sejak aku akhirnya mengenal Forum Lingkar Pena di masa kuliah. Mama semakin membolehkan hobi menulisku, karena tulisanku mulai terarah. Apalagi ketika Mama  tahu, bahwa orang-orang yang gabung di FLP adalah orang-orang baik, seperti di antaranya yang ada di FLP Karawang, di antaranya Teh Lina (yang saat ini menjadi ketum FLP Karawang), dan masih banyak lagi yang tanpa disebutkan nama pun aku tetap mengagumi kebaikan mereka.


Bersama FLP Karawang




Dan alhamdulillah, beberapa karyaku menetas setelah gabung dengan FLP. Di antaranya, Antologi Kisata (Unsa,indie publisher), juara dua menulis resensi novel Indiva (2015), Antologi JJCC, Jangan Jadi Cewek Cengeng(Indiva, 2017). Jiaaaah, ternyata karyamu baru segitu doang? Sebuah suara di lubuk hatiku berkomentar.

Hm, sebenarnya malu juga sih, sudah lama gabung di Forum Lingkar Pena, tapi karya yang kuhasilkan belum seperti teman-teman yang lainnya. Tapi, aku ingat pepatah lama, gapailah bintang, karena saat meleset pun kau tetap berada di antara bintang.


Ya, walaupun aku sekarang belum jadi penulis atau blogger ‘beneran’, tapi dengan bergabungnya aku di keluarga besar FLP seluruh dunia, ada banyak sekali pengalaman dan manfaat yang didapat. 
Paling berkesan, bisa kenal lebih dekat dengan penulis-penulis ternama –yang walaupun karya mereka melangit tapi hatinya tetap membumi.

dari WAG FLP sedunia


FLP pernah bilang, bahwa manfaat menulis itu banyak, di antaranya, menulis bisa menjadi ladang pahala, kalau ‘pesannya’ kebaikan. Menulis bisa jadi salah satu terapi menjaga kewarasan. Menulis pun bisa ‘memperpanjang umur’ karena walaupun kelak penulisnya sudah tiada, karyanya masih bisa dinikmati dan diambil manfaatnya.

Maka, dalam sebuah catatan kecil di sudut hatiku, aku terus berharap, semoga apa yang kutulis, dan yang akan kutulis, bisa membuahkan manfaat, yang bisa dipetik di ‘kehidupan’ mendatang. Karena aku tidak ingin, restu Mama yang susah payah kudapatkan menjadi sia-sia belaka. ***



You Might Also Like

2 komentar

  1. sampai detik ini belum pernah ketemu Dj di dunia nyata, palinan dunia maya ajaa
    tapi biar pun begitu, di grup ngerasa dah akrab bgtt, xixixi
    semoga nanti bisa ketemu, ya
    sukses teruss, Djjj

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi iya ya mbak, mudah2an nnt kita bisa kopdar ya mbak 😘
      Mungkin pas mbak lagi ke delta mas, atau doakan nnt dj n kluarga dj bisa halan2 ke raja ampat trus nanti mampir deh ketemuan sama mbak miy dan bang Taka di kediaman mbak miy di ujung timur sana 😍
      Aamiin Allahumma aamiin 💖

      Hapus