Katakan 'sayang' Pada Tempatnya

Januari 04, 2017

“Hati kadang sedih kalau inget itu.” Gadis itu membuka obrolan.
“Sedih kenapa? inget apa?” tanyaku yang belum sempat kutanyakan. Tapi langsung dia jelaskan.
“Dulu dia dekeeeeet banget sama aku. Tapi pas dia mau nikah, koq aku agak-agak gimanaa gitu.”
“Agak-agak gitu gimana?” tanyaku belum paham.

“Iya, saking deketnya, jadi ngerasa kehilangan.” wajahnya sendu.
“Dia itu cewe atau cowo?” mataku menyelidik.
“Cowo,” jawabnya pendek. Aku diam, menanti penjelasan selanjutnya. Tapi kemudian hanya hening. Akhirnya kuberanikan diri bertanya.
“Emang dia itu siapa kamu? Kakak? Sepupu? Atau hanya teman?”
Ditanya begitu dia malah diam. Menghembuskan nafas, berat.
“Siapa ya? Hahaha, entahlah.” Matanya menerawang. Seperti sedang melihat kenangan di atas kepalanya. Aku bingung.
“Dibilang Kakak, tapi bukan kakak kandung. Di bilang teman, tapi rasanya deketnya lebih dari teman.” jelasnya kemudian setelah tak tega membiarkanku kebingungan.
“Dia perhatian banget sama aku. Tak ada teman cowo yang se-care dia, walaupun aku ga terlalu care sama dia. Hehehe.” lanjutnya, aku menyimak.
“Dia selalu manggil aku dengan sebutan yang baik-baik. Misalnya, aku cantik, Neng geulis, bahkan sayang. Bikin aku Ge-er aja.”
Aku mengernyit. Okelah, untuk kata cantik atau neng geulis, masih bisa ditolelir, karna nyatanya dia memang cantik. Tapi untuk panggilan sayang itu? Aku berusaha menemukan jalannya makna positif. Tapi mentok! Mengingat, panggilan ‘sayang’ itu, dalam kamusku, terlalu mesra dan berlebihan untuk dilontarkan ke lawan jenis yang bukan muhrim. Pantas saja kalau temanku itu Ge-er.
“Terus?” tanyaku kepo.
“Aku memang ga bales ucapan sayangnya, tapi jujur dalam hati aku senang. Rasanya menyenangkan dipanggil sayang sama orang deket. Apalagi dia perhatian.” dia tersenyum. Tapi kemudian murung.
“Tapi sebelnya, ternyata dia nikahnya sama orang lain! Kirain dia mau nungguin aku, hahaha, abisnya dia sering banget manggil sayang ke aku, sedangkan ke temen cewe lainnya ga pernah aku denger dia manggil gitu. GRnya gue, hahaha.” tawanya garing.
“Eh, tapi, aku sendiri emang nganggap dia kakak sih. Cuma kadang, perhatiannya yang lebih dari yang lain itu, bikin akujealous pas dia bilang mau nikah sama seseorang, dan seseorang itu bukan aku.” dia mencoba tersenyum.
“Aku sadar akhirnya, kalau aku salah persepsi. Mungkin, dia emang sayang ke aku sebatas ke adiknya aja. Ga lebih. Tapi lain kali, kalau ada yang mau jadi kakak angkatku, aku bakal menolak keras-keras kalau dipanggil ‘sayang’ lagi. Karena aku tahu, meskipun sesama manusia harus saling menyayangi, tapi panggilan ‘sayang’ itu lebih pas diucapkan untuk yang muhrim.” pungkasnya, sebut saja dia Z.
Aku tersenyum. Kemudian, aku salutkan atas apa yang menjadi kalimat pungkas Z. Aku pun balik bercerita padanya, bahwa dahulu aku juga pernah punya kakak yang kuanggap baik. Tapi, kami tidak pernah sampai se-lebay itu manggil sayang-sayangan. Kami tahu, kami bukan muhrim. Maka, kakak-adik kami, hanya sebatas diskusi materi. Ataupun obrolan ringan. Itupun kami jarang bertemu. Dan memang aku tak mengharapkan lebih dari itu.
“Ya, alhamdulillah atuh kalau kamu sudah mau memakai kacamata agama untuk melihat mana yang baik mana yang engga.” jawabku.
“Kamu engga salah, kalau kamu ge-er. Wajar, cewe mana sih yang ga ge-er dipanggil ‘sayang’ atau panggilan lembut lainnya? Hanya saja, jangan sampai kita ikut-ikutan salah dengan meneruskan membalas ucapan mesra. Dan atau membiarkan kemesraan itu lebih parah lagi. Karena ‘kan bukan muhrim. Kecuali kalau udah suami-istri, itu mah beda pembahasan lagi. Justru kalau udah suami-istri mah, dianjurkan untuk saling memanggil dengan mesra.” Jelasku.
“Jadi, kemaren-kemaren aku dosa ya? Udah mesra sama yang bukan muhrim?” tanyanya, polos. Aku diam. Dia muram.
“Tak ada yang tak pernah melakukan kesalahan. Dan Allah dengan keMaha-anNya, insyaAllah akan mengampuni kesalahan hambaNya. Asalkan kita sungguh-sungguh mau mohon ampun padaNya.” aku memeluknya. Z malah menangis.
“Ingetin aku terus ya…”
“insyaAllah kita saling mengingatkan.” kami tersenyum.
“Berarti, sekarang kamu ga jealous lagi kan?” iseng aku bertanya.
“ENGGA Donk! Kan dia bukan suami aku! Ngapain dicemburuin?” balasnya retoris. Aku mengacungkan jempol. Setuju dengan kalimatnya.
“Lagian dia engga seganteng Brad Pitt!” sambungnya sambil terkekeh.
GUBRAK!
—-
Itu hanya potret kecil dari ketidakharusan dan ketidakmestian melakukan sesuatu. Pelajarannya untukku dan para sodara-sodariku…
Sudahlah, kita tak perlu melakukan sesuatu yang belum saatnya, atau yang tidak pada tempatnya. Karena segala sesuatu itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Meskipun pertanggungjawaban itu engga ditagih sekarang, ada akhirat yang menanti untuk menghisab segala macam tingkah laku. Apalagi Raqib dan Atid engga pernah absen nyatet niat dan amalan kita. Iya toh?😉
Terus, gimana dong kalau kita udah terlanjur berbuat kesalahan? Jawabannya, pembaca juga sudah tahu, yakni yuk bergegas mohon Ampun pada Allah sekaligus bergegas memperbaiki diri. Jangan tunggu hari esok untuk bertaubat. Karena kita engga pernah tahu kapan Izrail datang menjemput kita. Iya kan? Bisa lusa, esok, atau bahkan hari ini? Wallahu’alam. So, ladies and gentleman… yuk sama-sama membenahi diri.😉
Setiap kali kita bersungguh-sungguh memperbaiki diri, pada saat yang sama kita sudah mulai memperbaiki yang lain. -Aagym-


Salam pena,
Karawang, Djayanti Nakhla Andonesi😉
*Tulisan ini adalah tulisanku di blog lamaku :) #EdisiRekap

You Might Also Like

0 komentar