Resensi Novel Yang Ditakdirkan Juara 2 Indiva, Alhamdulillah

Februari 08, 2016

Siang hari, ketika saya dan keluarga sedang berkumpul di suatu tempat, saya mendapat notifikasi email, tanggal 31 Januari 2016. 

Saya terhenyak,
ketika membuka isi email tersebut.
Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Jujur saya gemetar membacanya. Di sana tertulis, bahwa saya memenangkan lomba  menulis resensi novel  Indiva 2015.

Tak terasa air mata saya menetes, baru saja pagi-pagi saya mendapat kabar saya gagal di sebuah lomba lain yang saya ikuti, namun siangnya Allah menunjukkan kejutan-Nya. Rezeki memang tidak akan tertukar. 

Saya amat yakin, sepenuhnya ini karena Ke-Maha-Baikan Allah SWT.

Akhirnya saya sadar, bahwa kegagalan-kegagalan yang pernah saya alami, bukan karena Allah Tidak Baik pada saya, melainkan Allah ingin agar saya belajar untuk terus berbaik sangka pada-Nya. 

Toh, sekali lagi, rezeki tak akan pernah tertukar. Tinggal kita yang mesti ikhtiar diiringi tawakkal.

Dan Allah sebaik-baik pemberi keputusan.

Alhamdulillah, tanggal 6 Februari 2016, saya diberi kabar oleh Mama, bahwa sebuah paket telah tiba di rumah. Kebetulan saat itu saya memang sedang berada nan jauh dari rumah.

Ketika sampai rumah, kelelahan saya terobati melihat isi paket itu.
Alhamdulillah.



Ini pengalaman pertama berhasil lomba resensi. Terima kasih Indiva Media Kreasi dan tim, terima kasih untuk semua yang telah tulus mendoakan dan mendukung. Allah sebaik-baik pemberi balasan. Jazakumulllah khairon katsir :)


Bagi teman-teman yang mau membacanya, ini resensi saya yang saya tulis di Facebook, dan akun wordpress saya kala itu.

Selamat membaca, semoga bermanfaat. :)

~~~~~

Jadilah seperti Stalaktit, Stalakmit dan Kalsit bagi Kehidupan Ini

17 DESEMBER 2015 · PUBLIK
110 kali Dibaca
Baru baca daftar isinya saja, saya sudah terkesima. Karena, dari halaman awal sampai akhir, terdiri dari sub judul yang alphabetic. Dari abjad A sampai Z, merupakan istilah-istilah Biologi, uniknya menjadi kata yang mewakili sub judul novel ini. Kreatif sekali. Dan sebelum sampai di paragraf novel, kita disuguhkan dengan puisi indah, yang bagi penikmat puisi, sangat menyentuh.
Penulis yang bernama pena Afifah Afra, yang merupakan anggota sekaligus pengurus pusat Forum Lingkar Pena ini, memang sangat pandai memainkan kata. Sehingga, alur maju mundur dari novel ini, membuat cerita menjadi tidak monoton. Apalagi, penulis yang baru saja melahirkan putra keempatnya ini (Barokallah ya Mbak :)), sangat lincah membuat metafor-metafor dan diksi personifikasi. Yang meski terkadang, bagi pembaca yang tingkat loading-nya agak lama seperti saya, menjadi tantangan bacaan tersendiri untuk menafsirkannya, hehehe.
Dalam novel ini, kita akan bertemu dengan sosok yang luar biasa. Seperti Fahira, anak bungsu yang prestasi akademiknya begitu gemilang. Juga Rinanti, sosok penghimpun senja yang luar biasa tabah. Anton yang walaupun terkesan ‘selengean’, cuek bebek, dan dingin, namun sebenarnya punya hati yang sangat lembut. Juga tokoh-tokoh lain, seperti Nania, Azhar, dan teman-temannya yang tak kalah menarik. Pun, dengan tokoh antagonis nan penuh misteri, yaitu Gunadi, semakin membuat novel ini mengalir seru. Ya. Penulis yang lahir di Purbalingga ini, pandai membuat penokohan yang begitu kuat.
Pertemuan-pertemuan
Kucing kecil! Begitulah julukan yang diberikan Anton pada Fahira pada pertemuan di kelas itu. Gadis manis itu tak terima dengan ‘hinaan’ seperti itu, apalagi justeru dialah yang menjadi pintu terlaksananya proyek penelitian di Luweng Jaran. Ya, Fahira-lah yang berhasil mendapatkan dana hibah dari international foundation, atas proposal penelitiannya. Jadi mana mungkin dia pantas disebut kucing kecil?
Dengan modal sebagai peraih beasiswa tersebut, Fahira ingin sekali membalas balik, perkataan-perkataan dan sikap-sikap Anton yang kasar pada dirinya, namun, justeru itu akan membuat proyeknya tak mungkin terlaksana. Karena, tim penelitiannya, tak siap dan tak berani berangkat jika tanpa Anton. Pasalnya Anton, yang walaupun terkenal dengan reputasi mahasiswa malas, sangat ahli dalam proses susur gua, apalagi untuk Gua yang spesial seperti Luweng Jaran. Fahira dilema. Satu sisi, dia sangat muak dengan sikap Anton, di sisi lain, dia sangat membutuhkan bantuan Anton. (Bab Chalcedony)
Keadaan-keadaan pun menjadi begitu rumit.
Hingga, Anton menenangkan diri di sebuah pantai, sambil menikmati indahnya senja. Dan di sanalah dia bertemu dengan Rinanti. Pemilik warung kelapa yang sangat unik. Saking uniknya, Rinanti sanggup menghimpun senja, sampai empat ribu senja lebih, telah berhasil dia kantongi dalam ingatannya. (Bab Beryl)
Hm, Afifah Afra semakin mengaduk-aduk rasa penasaran saya. Bukan saja penasaran terhadap situasi yang berlangsung dalam cerita, namun juga penasaran dengan pesona dan budaya lokal, seperti potensi-potensi alam di Pantai Klayar dan sekitar, sampai Gua Luweng Jaran itu sendiri, yang dideskripsikan begitu detail oleh Penulis. Yang akan membuat kita merenung, Hei! Bukankah Indonesia ini seperti bongkahan surga? Lalu mengapa kita tidak bangga dan begegas berusaha melestarikannya sendiri –sebelum kekayaan kita dicaplok orang lain (lagi)?
Ilmiah dan Ilahiah
Novel ini sangat mengusung konsep ilmiah. Di mana penelitian terhadap kondisi alam, khususnya bidang speleologi Gua, menjadi latar utamanya. Kita menjadi tahu lebih dalam, tentang betapa sebenarnya gua sangat berpengaruh terhadap keseimbangan eskosistem bumi. Kita juga menjadi lebih berwawasan lagi, tentang proses pembuatan batu akik yang booming beberapa waktu ini.
Dan, novel ini menginspirasi kita, untuk lebih menghormati alam. Apalagi, dalam konsep susur gua, kita dilarang keras untuk mengambil apapun yang bukan hak kita, sekalipun itu mutiara. Karena, prinsip susur gua adalah take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but time…
Saya rasa, prinsip susur gua itu, bisa kita resapi untuk kehidupan yang lebih luas. Take nothing but picture. Ya, pada masa lalu, apapun itu, baik yang menyenangkan atau sebaliknya, kita mesti menghadapinya dengan lapang dan tenang. Karena tak selalu apa yang kita mau bisa kita miliki, pun tak selamanya apa yang tak kita inginkan akan terjamin tak terjadi. Ada kalanya, semua itu cukup kita picture dalam ingatan kita, untuk kita jadikan pelajaran menata masa depan.
Leave nothing but footprint. Usia kita tidak akan lama. Paling banter, 100 tahunan ya, seperti Abah Narim ahli tulang yang saya temui beberapa waktu lalu. Tapi, kita masih bisa meninggalkan jejak. Dan sebaik-baik jejak adalah yang dapat menginspirasi orang lain di belakang atau sekitar kita pada kebaikan. Maka, selagi masih diberi usia, tinggalkanlah jejak. Masih seperti Abah Narim, yang mampu meninggalkan jejak selagi napasnya masih berhembus. Jejaknya adalah berupa keahlian untuk menolong orang, tanpa patokan biaya, agar bisa kembali berjalan dan bergerak lagi. Pun jejak-jejak kebaikannya yang pada saat mengobrol, berhasil saya ingat. Ya, di usianya yang akan menginjak 100 tahun, Abah Narim, tak hanya gigih meninggalkan jejak kebaikan di bumi ini, agar orang yang patah tulangnya bisa berfungsi kembali, namun lebih dari itu, Abah Narim telah meninggalkan jejak kebaikan sampai mampu menyentuh hati, menginspirasi.
Maka, apatah lagi kita yang masih muda. Berilah jejak kebaikan untuk siapa saja yang ada di belakang atau sekitar kita. Berilah bumi ini jejak, dengan karya nyata berupa kebaikan-kebaikan, apapun itu yang kita bisa, dengan hati yang tulus tentunya, selagi nafas masih menyertai kita.
Kill nothing but time… dalam rumus susur gua, menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin adalah wajib. Karena, oksigen begitu terasa berharga di dalam sana. Ah, begitu juga dengan kehidupan yang kita jalani. Sudah semestinya, kita menghargai oksigen yang Tuhan berikan. Dan menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Agar kita tidak mati dalam keadaan yang sia-sia. Bukankah kematian itu pasti?
Dan dalam novel ini, rupanya Gunadi telah keliru dalam menggunakan waktunya. Sehingga, banyak hal yang terabaikan, termasuk istrinya yang sangat manis dan setia telah menjadi korban dari ketidak mampuannya mengendalikan diri dan waktu. Namun bukan Rinanti namanya kalau tidak tabah. Walaupun batinnya terluka dan sering perang sendiri, Rinanti adalah sosok istri luar biasa. Walaupun tidak berpendidikan tinggi, Rinanti tetap menjaga imannya agar tidak terjebak musyrik seperti suaminya. Sebuah perjuangan yang tidak mudah. Namun, berhasil membawa Rinanti pada senja yang paling panjang dalam hidupnya.
Dalam bab-bab selanjutnya, cerita novel ini semakin menderu-deru. Terlebih pada bagian bab Stalaktit sampai bab akhir. Sangat menegangkan!
Bukan hanya Rinanti yang gigih menjaga imannya, Fahira pun demikian. Di tengah situasi sulit yang di alaminya bersama Anton karena disesatkan oleh Gunadi di dalam Gua, tak membuat Fahira melupakan kewajibannya sebagai muslimah. Fahira yang dalam kondisi memprihatinkan, tetap menjalankan shalat sebagaimana yang ia bisa, dan tetap berusaha menjaga auratnya. Fahira menginspirasi kita, bahwa untuk menjadi muslim/muslimah, kita perlu menyadari bahwa Allah adalah sebaik-baik pengawas dan penolong. Karena di dalam gua yang gelap sekalipun, Allah tetap Maha Melihat. (bab Ulava)
Keyakinan yang dalam atas Islam pada diri Fahira, telah memantulkan sinar-sinar pencerahan bagi Anton yang selama ini hatinya begitu gelap, segelap gua yang membuatnya tersesat.
Kelebihan Novel
Keren! Novel ini banyak sekali menyampaikan pesan moral. Seperti yang saya sebutkan di atas, ilmiah dan ilahiah. Penulis yang bernama asli Yeni Mulati ini mampu mengemas pesan-pesan moral dalam bahasa yang menarik, dalam cerita yang tidak menggurui namun mampu mengisnpirasi.
Tentang bagaimana kita merendahkan hati yang kadung sombong. Tentang bagaimana kita belajar untuk memahami orang lain, memahami diri kita sendiri, memahami keadaan, memahami dan menghargai alam, memahami kebesaran-Nya, pun memahami hikmah atas peristiwa yang terjadi. Tentang bagaimana kita menyerahkan hidup pada Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Tentang bagaimana kita menumbuhkan dan memaknai harapan. Tentang bagaimana kita totalitas menghamba pada Tuhan, dengan sebaik-baik prasangka. Tentang belajar memperbaiki diri. Dan tentang bagaimana kita merenungkan apa-apa yang telah Dia ciptakan. Termasuk senja. Bukankah senja juga salah satu tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berpikir?
Selain itu, novel ini juga sangat informatif, khususnya tentang hal-hal ke-Gua-an, dan berbagai nuansa lokalitas yang diusung di dalamnya. Novel ini juga terasa bernyawa sehingga kita seolah ikut bersama para tokoh dalam novel.
Satu lagi, pesan moral dari novel Akik dan Penghimpun Senja ini, bahwa setiap orang bisa berubah menjadi lebih baik, seburuk apapun masa lalunya, senakal apapun prilakunya. Dan perubahan menjadi lebih baik dari sebelumnya, tentu bukan tanpa proses, karena stalaktit dan stalakmit saja juga butuh proses untuk akhirnya menjadi ‘lukisan’ alam yang begitu menakjubkan.
Perubahan menjadi lebih baik, juga bukan tanpa dukungan. Selalu dibutuhkan uluran tangan orang-orang yang peduli. Karena jika bebatuan atau kerikil dalam Gua Karst saja, butuh mineral kalsit yang sabar menyelimutinya bertahun-tahun, bahkan puluhan hingga ribuan tahun, untuk akhirnya menjadi cavepearl alias mutiara, maka apatah lagi kita manusia, yang mempunyai hati tak sekeras batu.
Maka, saya menangkap pesan yang begitu dalam di novel ini, yakni agar kita berusaha untuk menjadi stalaktit dan stalakmit yang sabar dalam berproses menuju diri yang lebih baik, bahkan lebih dari itu, berusahalah pula menjadi selimut kalsit, agar kita bisa memberi manfaat pada ‘bebatuan’ di sekitar kita.
Ah, ya. Saya jadi teringat QS. Al-‘Ashr.
Demi waktu. Sesungguhnya, manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang beramal shaleh, dan orang-orang yang saling nasehat-menasehati dalam kebenaran, dan saling nasehat-menasehati dalam kesabaran.
Kekurangan Novel
Dua kali saya bolak-balik membacanya, kekurangan novel ini menurut saya hanya terletak pada beberapa kesalahan pengetikan alias typo di beberapa halaman. Seperti pada halaman 14, yakni kesalahan penulisan kata Kerawang, yang mestinya adalah Karawang. Mungkin karena saya asli orang Karawang, jadi semacam ada naluri otomatis untuk menyampaikan ejaan nama kota yang sebenarnya ini, hehe. Pun pada halaman-halaman lain, beberapa kali saya menemukan typo, yang memang sepele, namun cukup menganggu pembaca dalam mencerna cerita yang sedang seru-serunya.
***
Ya, novel ini sangat direkomendasikan untuk semua kalangan. Khususnya bagi anak muda, wabil khusus lagi untuk para mahasiswa. Yuk! Baca bukunya, petik ilmu dan keseruan di dalamnya!
Judul buku : Akik dan Penghimpun Senja
Penulis : Afifah Afra
ISBN : 978-602-1614-63-1
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal buku : 322 halaman
Cetakan : April 2015
Harga buku : 55 ribu (diskon akhir tahun di Toko Buku Afra menjadi 44 ribu)

Foto : Koleksi Pribadi

Salam, ^_^
Djayanti Nakhla Andonesi
@Kaumjaya, Karawang

You Might Also Like

0 komentar