Jauh sebelum kenal blog, aku sudah senang
bercerita, sejak masih di bangku SD. Kadang bercerita lewat gambar-gambar yang kujelaskan panjang lebar
alur ceritanya pada teman-teman yang mau mendengarkan. Dan aku baru sadar
sekarang, mereka koq mau-mau saja ya mendengarkan ceritaku. Padahal gambarku
juga enggak bagus-bagus amat, seadanya malah. Apa mungkin mereka kasihan semata,
karena melihatku butuh pendengar? Hahaha. Ah entahlah. Aku sudah sangat
berterima kasih pada mereka apapun alasannya.
Selain bercerita lewat gambar (sekali
lagi aku tekankan, gambar yang kuguratkan sangat sederhana, jadi jangan
membayangkan kalau aku jago menggambar ya, hehe), aku juga senang bercerita
lewat tulisan.
Dan aku
bisa menghabiskan berlembar-lembar tulisan di buku tulis biasa. Itu loh, buku
tulis yang di setiap lembarnya selalu ada kata-kata motivasi
terselip di bawahnya. Misal, yang paling aku ingat adalah : never put till tomorrow what you can do
today. Uh yeah. Dulu saat membaca kamut
itu berasa keren sekali. Tapi sampai
sekarang, pengaplikasiannya butuh niat dan usaha extra ternyata.
Atau kadang-kadang, kalau lagi iseng,
aku menulis cerita di halaman belakang. Jadi seperti menulis catatan berbahasa
arab. Dari belakang ke depan. Maka, penuhlah halaman belakang buku-buku tulis aku
dengan warna-warni cerita. Entah itu cerita karangan yang yang aku buat di
sekolah, ataupun saat senggang di rumah.
Kegemaran
menulis cerita terus berlanjut sampai ke jenjang berikutnya. Apalagi saat itu
ada dua orang teman aku, Siti Masitoh dan Nur Ayu Sekar Ningsih, yang juga
punya kegemaran serupa. Walaupun kita beda esempe
alias SMP.
Bahkan kami sempat membuat novelet. Trio. Kami menulisnya gantian. Di buku yang sama. Temanya mengalir begitu saja, karena tergantung
buku itu sedang ada di tangan siapa, hahaha. Dan tentu saja menulisnya langsung
menggunakan pulpen alias tulis tangan. Bukan ketikan komputer. Karena, waktu
itu belum ada fasilitas komputer. Kalaupun ada, masih sangat sulit kami temui rental-nya. Sekalipun menemukan rental-nya, uang sewanya lebih baik kami
gunakan untuk jajan baklor alias martabak telor sepulang kami ngaji, hehehe.
Untuk itu,
saking niatnya, aku pernah menulis
sendiri beberapa novelet (tentu kaidahnya jauh dari sempurna sebagaimana novel
yang telah diterbitkan penerbit), masih di buku tulis biasa, dan dibaca oleh
beberapa teman yang senang membaca. Ada juga kakak kelas yang ikut membaca
secara bergantian. Lalu ada yang berkomentar, bahwa cerita yang aku buat bagus
sekali. Padahal itu cuma fiksi.
Sejak saat itu aku makin semangat menulis.
Dan makin senang membaca, karena amunisi menulis memang berawal dari membaca. Namun
karena aku tak punya cukup uang untuk membeli majalah-majalah atau buku-buku
selain buku pelajaran, maka perpustakaan sekolah merupakan tempat favoritku. Aku
bisa menahan lapar pada jam istirahat, untuk aku gunakan sebanyak mungkin di
perpustakaan.
Menjelang kelas tiga esempe, hobi menulisku redup. Karena, Mama
tak suka aku menulis. Bagi Mama menulis itu buang waktu. Mama khawatir aku
kebanyakan melamun dan tidak fokus pada pelajaran. Karena memang aku menulis
tanpa panduan siapapun alias otodidak.
Hiks.
Semua buku
tulis yang isinya cerita fiksiku, aku sobek-sobek sendiri. Kesel, sedih,
kecewa. Karena hobiku tak direstui. Sejak saat itu aku malas menulis. Enggak selera lagi menulis
cerita, bahkan ketika diminta oleh teman yang suka membaca.
Sampai kelas dua esema alias SMA, aku kangen. Sudah dua tahun aku berhenti menulis.
Aku kangen halaman belakang buku tulisku ada cerita karyaku lagi. Maka, tanpa
sepengetahuan Mama, aku mulai menulis lagi. Masih di belakang buku catatan
sekolah. Walau selalu tanpa ending, karena mogok ide di tengah jalan. Dan itu
yang membuat Citra Asri Meida, teman sebangku, uring-uringan, “Dije, ini
tulisan diselesaikan doooong! Enggak enak banget lagi seru-serunya baca tapi
lanjutannya ilang gitu aja!”
Hahaha. Ah, terima kasih Citra. Kau komentator
tulisanku yang paling setia.
Dan momen
tak terlupakan itu pun datang.
Saat itu aku kelas tiga esema. Aku mengikuti lomba cerpen pada
saat PIJAR, Perlombaan Islami Antar Pelajar, yang diadakan oleh Forum Komunikasi
Dakwah Kampus UNSIKA. Alhamdulillah, cerpenku yang berjudul “Gerimis” berhasil
mendapatkan juara dua. Namun, karena saat itu aku enggak punya gawai, jadi
enggak bisa mendokumentasikannya. Tapi mungkin pialanya masih nangkring di
lemari sekolah SMAN 1 Telukjambe. Itu juga kalau enggak kegusur piala siswa
lain di generasi selanjutnya, maklum, aku kan udah termasuk generasi lawas
sekarang, hahaha.
Yang lebih penting, setelah menjadi
juara dua di lomba cerpen itu, alhamdulillah
Mama akhirnya mengizinkanku melanjutkan hobi menulis. Bahkan, Mama sampai
berurai air mata saat membaca Cerpenku yang berjudul “Gerimis” itu.
Apalagi
sejak aku akhirnya mengenal Forum Lingkar Pena di masa kuliah. Mama semakin membolehkan
hobi menulisku, karena tulisanku mulai terarah. Apalagi ketika Mama tahu, bahwa orang-orang yang gabung di FLP
adalah orang-orang baik, seperti di antaranya yang ada di FLP Karawang, di antaranya Teh
Lina (yang saat ini menjadi ketum FLP Karawang), dan masih banyak lagi yang
tanpa disebutkan nama pun aku tetap mengagumi kebaikan mereka.
Bersama FLP Karawang
Dan alhamdulillah, beberapa karyaku
menetas setelah gabung dengan FLP. Di antaranya, Antologi Kisata (Unsa,indie publisher), juara
dua menulis resensi novel Indiva (2015), Antologi JJCC, Jangan Jadi Cewek Cengeng(Indiva, 2017). Jiaaaah, ternyata karyamu
baru segitu doang? Sebuah suara di lubuk hatiku berkomentar.
Hm, sebenarnya malu juga sih, sudah
lama gabung di Forum Lingkar Pena, tapi karya yang kuhasilkan belum seperti
teman-teman yang lainnya. Tapi, aku ingat pepatah lama, gapailah bintang, karena saat meleset pun kau tetap berada di antara
bintang.
Ya, walaupun aku sekarang belum jadi
penulis atau blogger ‘beneran’, tapi dengan bergabungnya aku di keluarga besar FLP
seluruh dunia, ada banyak sekali pengalaman dan manfaat yang didapat.
Paling
berkesan, bisa kenal lebih dekat dengan penulis-penulis ternama –yang walaupun
karya mereka melangit tapi hatinya tetap membumi.
dari WAG FLP sedunia |
FLP pernah
bilang, bahwa manfaat menulis itu banyak, di antaranya, menulis bisa menjadi
ladang pahala, kalau ‘pesannya’ kebaikan. Menulis bisa jadi salah satu terapi
menjaga kewarasan. Menulis pun bisa ‘memperpanjang umur’ karena walaupun kelak
penulisnya sudah tiada, karyanya masih bisa dinikmati dan diambil manfaatnya.
Maka, dalam sebuah catatan kecil di
sudut hatiku, aku terus berharap, semoga apa yang kutulis, dan yang akan kutulis, bisa membuahkan manfaat, yang bisa dipetik di ‘kehidupan’ mendatang.
Karena aku tidak ingin, restu Mama yang susah payah kudapatkan menjadi
sia-sia belaka. ***