Kakek Penjual (miniatur) Rusa yang Luar Biasa, Pelajaran Bagi yang Muda
Januari 14, 2016Waktu itu tanggal 15 November, tahun 2015. Pas weekend. Saya dan keluarga hang-out. Enggak jauh-jauh. Wisata religi ke Masjid Agung Karawang. Mengenalkan putri kami yang baru setahunan, pada Masjid.
Ketika kami sedang menikmati suasana sore di teras Masjid, tiba-tiba ada seorang pria yang cukup sepuh.
Dia menghampiri kami. Langkahnya nampak lelah. Namun semangat masih terasa memancar di sekujur jiwanya.
Hingga tak heran, ia mengucapkan salam dengan penuh energi.
Kami menjawab salamnya.
Kemudian ia duduk di depan kami. Dia memperkenalkan diri. Suaranya yang cukup parau dimakan usia, tak membuatnya minder.
"Neng, Jang, aki teh penjualan ieu, kerajinan tangan." Katanya sambil menaruh ketiga benda yang sedari tadi dipegangnya.
"Oh, celengan nya, Ki?" Tanya suami antusias.
"Muhun. Mangga Bilih bade meser, hargina 15 ribu hijina" jawabnya sambil mengipas-ngipaskan topi ke tubuhnya. Kemudian ia pakai lagi ke kepalanya.
Melihatnya demikian lelah, saya pun memberanikan diri bertanya, masih dengan bahasa sunda, yang terjemahan Indonesianya, begini:
"Emang Kakek dari mana?"
"Saya dari Cikampek. Penjualan ini mapay-mapay (menelusuri) jalan."
"Oh gitu, saya juga orang Cikampek!" suami langsung menyahut,
"Cikampeknya di mana? Kakek mah di dekat desa boneka"
"Ooh gitu. Saya mah di Kamojing"
Kemudian Kakek menyebutkan nama-nama yang dia kenal. Tapi sayangnya suami saya tak kenal, mungkin saking jauh beda generasinya, hehe.
"Kakek ke sini naik kendaraan sendiri?"
"Saya naik mobil dari stasion Cikampek" jawab sang Kakek. "Tuluy (terus) turun di Stasion ini"
Kakek itu menunjuk ke arah stasiun Karawang yang ada beberapa kilometer dari Masjid.
"Terus turun dari Stasiun ya jalan kaki menjajakkan penjualan Kakek ini" lanjut sang Kakek.
"Oh gitu. Hebat Kek." Puji saya tulus.
Lalu obrolan semakin mengalir. Kakek pun menceritakan siapa dirinya, sampai-sampai ia mengeluarkan kartu tanda penduduknya, untuk lebih meyakinkan kami. Hehe, saya jadi geli melihat tingkahnya yang demikian.
Ternyata, sang kakek benar-benar struggle. Betapa tidak. Dia memang memiliki banyak anak, namun entahlah, ia tetap harus menghubungkan nasib dengan kerja keras. Demi bertahan hidup.
Meskipun harus ditempuh puluhan atau ribuan kilometer jauhnya, di usianya yang begitu senja, menapaki jalan di bawah terik matahari, dan terkadang kuyup kehujanan. Berangkat pagi, pulang paling cepat tiba di rumahnya magrib.
Beliau begitu tegar walau keringat mengucur deras. Dia tak pernah mengizinkannya untuk diam apalagi malas-malasan. Sekalipun lelah, sangat lelah.
Beliau pun tidak gengsi, menjajakkan benda-benda keterampilan itu. Justru ia bangga, karena masih bisa berkarya. Meskipun benda-benda itu bukan langsung ia sendiri yang membuat, yang penting apa yang dilakukannya adalah pekerjaan yang halal.
Sang Kakek benar-benar gigih. Dan, satu lagi. Dia senantiasa memaafkan kondisi. Betapapun pahitnya hidup, ia tetap mampu memaafkan orang-orang yang menyakitinya, orang-orang yang membuatnya menjadi se-struggle itu, meskipun usianya sudah senja.
Ah, Its touching my heart so deeply.
"Iya yang namanya usaha mah harus gigih, enggak bisa malas" katanya saat ku puji dengan tulus atas kerja kerasnya yang luar biasa.
Kami pun membeli 2 dari 3 kerajinan tangan yang tersisa. Setelah menerima uang pembelian benda tersebut, sang Kakek pamit dengan penuh terima kasih.
Betapa ia termasuk orang yang pandai mensyukuri apapun nikmat-Nya.
Hati saya basah. Saya meraba jiwa saya sendiri, sudahkah aku bersyukur hari ini?
Kami lihat, beliau kembali menjajakkan sisa miniatur satu ekor rusa itu kepada pengunjung lain yang ada di teras Masjid. Lagi, betapa gigihnya.
Lalu langkahnya perlahan menjauh ke pintu gerbang Masjid. Dia jalan kaki cepat menuju stasiun. Tak ingin tertinggal kereta yang menjadi teman perjuangannya tiba di pusat kota Karawang ini.
Dia sudah pergi dari pandangan kami. Namun, jejak pertemuannya masih menginspirasi hingga saat ini.
Salam,
Djayanti Nakhla Andonesi
Baiti Jannati
0 komentar