Pelajaran dari Samurai

Januari 05, 2017

Judul buku : Samurai Kazegatana (Pedang Angin)
Penulis : Ichirou Yukiyama
Penerbit : Penerbit Qanita
Tahun terbit : cetakan 1, 2009
Tebal buku : 352 halaman.
image
sumber foto : Koleksi pribadi
Pada zaman feodal Jepang, perang sering berkecamuk di antara para daimyou yang berebut kekuasaan dan wilayah. Banyak kelompok yang
memanfaatkan kemelut itu untuk menindas rakyat dan mengeruk keuntungan. Salah satunya adalah gerombolan perampok Chigatana yang bersarang di Lembah Togoruchi dan merampok saudara-saudaranya yang lain. Berbagai pasukan dikirim untuk membasmi para perampok itu. Namun, mereka semua gagal. Lalu muncullah seorang pemuda, yang bernama Akazawa, walaupun rakyat biasa namun bertekad untuk menumpas Chigatana. Maka, Akazawa mulai membentuk kelompok kecil yang sangat rahasia yang diberi nama Kazegatana, “Pedang Angin”. Nama itu diambil dari nyanyian masa kecil Akazawa bersama sahabat-sahabatnya ketika bermain pedang. “Kazegatana adalah”, papar sang ayah ketika Akazawa kecil, “pedang yang terbuat dari angin, yang menebas tanpa suara, membelah tanpa wujud, lalu menghilang, seolah tak pernah ada”.
Ya. Novel ini sarat dengan filosofi. Yang paling menarik adalah, kalimat yang dilontarkan oleh tokoh Gorou, bahwa kita bisa hidup seperti bunga Sakura, yang gugur dengan cara yang sangat indah dan terhormat. Terlebih sebagai seorang yang pernah menjadi samurai, bahwa kesetiaan dan kehormatan adalah hal yang tak bisa dianggap remeh.

Maka dalam novel ini, penulis Ichirou Yukiyama, seakan ingin menyampaikan pesan pada khalayak pembaca, bahwa kesetiaan masih selalu bisa diperjuangkan, dan selalu dimiliki oleh jiwa-jiwa yang berkelas.
Dengan filosofi gugur bagai Sakura, novel ini menjelaskan bahwa kematian tak pernah memberi ruang penyesalan, bila kita telah melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sewaktu masih hidup. Serumit apapun kejadian yang kita lalui. Toh, kita bisa melaluinya asalkan kita mau berusaha dengan sebaik mungkin. Hal ini, walaupun bukan novel religi, justeru mengingatkan saya pada sebuah hadis Rosul, yang redaksinya kurang lebih seperti ini : bekerjalah kamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beribadahlah kamu seolah-olah kamu akan mati besok.
Memang, dalam novel ini sama sekali tidak membahas soal kepercayaan dalam beragama, karena dari segi budaya pun, Jepang terkenal dengan atheisnya. Namun, selalu bisa kita temukan hikmah yang mendalam dalam novel ini. Seperti yang saya ingat dari Sahabat Ali bin Abi Thalib ra., yang pernah mengatakan, hikmah adalah benda milik umat muslim yang hilang, maka barangsiapa yang menemukannya, dia berhak untuk mendapatkannya.
Dari segi penulisan, novel ini sangat runtut dan penuh kejutan. Penulis berhasil merangkai diksi yang mengalir dan mampu menggambarkan budaya Jepang saat itu dengan baik.
Hanya saja, ending yang disajikan kurang menyenangkan, bagi saya. Karena, walaupun semua kejadian dan teka-teki yang ada di alur cerita ini, terjawab semua, namun ending dengan kehilangan orang-orang yang kita sayang, terasa menyedihkan. Tapi, mungkin di situlah Penulis ingin menegaskan maksud yang dia sampaikan di awal, bahwa kematian tak akan pernah memberi ruang penyesalan, bila kita telah menyelesaikan apa yang seharusnya kita lakukan.
Novel ini sangat cocok untuk orang dewasa yang gemar membaca filosofi, dan sangat tidak dianjurkan untuk anak-anak sekolah, karena isi novel ini penuh dengan pertarungan fisik, terlebih menggunakan pedang.
Selamat membaca!🙂
~Karawang, DNA @myBelovedRoom~

You Might Also Like

2 komentar

  1. Eeeh koq dj baru ngeh ada komennya mbak miy di postingan ini 😂 maapp, edisi getelingsut notifnya 😅
    Hu'um mbak, bagus bukunya

    BalasHapus