Setiap Orang Pernah Salah Tapi Tidak Semua Berani Muhasabah

Januari 19, 2016


Sebuah Resensi

Judul buku : Sujud Nisa Di Kaki Tahajjud-Subuh
Penulis : Kartini Nainggolan
Penerbit :  Diva Press
Cetakan : ke-16 Agustus 2012
Tebal : 370 Halaman
*Harga : Kurang tahu, karena ini pemberian :D

http://kutukutubuku.com/_res/picture/21583-sujud_nisa_di_kaki_t.jpg
Males motoin buku karena ini udah malem si kamera enggak akan 'ngeliat' :D, jadi Sumber gambar diambil dari sini :D
Sebenarnya buku ini sudah sejak Oktober 2012 ada pada saya, pemberian salah seorang saudara saya. Namun, saya baru sempat mengkhatamkannya dua hari yang lalu. Itu pun karena bukunya baru ketemu dan baru niat dibaca. Hahaha. Parah. Yah, sekali lagi, musibah selalu membawa hikmah.
Oke, abaikan muqaddimah barusan.

**
Novel ini
dibuka dengan konflik langsung antara tokoh utama, Nisa, dengan bapak dan ibunya. Nisa pusing tujuh keliling. Sebagai anak yang patuh terhadap orang tua, Nisa ingin mengikuti perintah Bapak, yang keukeuh meminta Nisa untuk melanjutkan jenjang ke perguruan tinggi. Namun di sisi lain, Nisa juga tidak tega membiarkan Bapak dan Ibunya banting tulang untuk melaksanakan rencana tersebut.

Nisa sadar diri dia siapa. Apalagi Ibunda juga lebih setuju jika Nisa kerja saja. Karena, bila Nisa kuliah, akan tambah berat lagi beban Ibu yang setiap hari pergi pagi ke pasar bukan untuk belanja, tapi untuk jualan.
Ada yang unik di konflik ini. Ibu realistis, sementara bapak idealis. Dan Nisa jadi pesimis.

Ya, ibu realistis karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah, karena apa-apa sekarang mahal! Ingin rasanya melink kalimat barusan ke pemerintah, #eh :D
Belum lagi hutang keluarga dan biaya kuliah Bapak yang sedang S2, kakaknya yang juga sedang S1, dan adiknya yang masih sekolah juga. Itu semua butuh biaya besar. BESAR!

Namun, bapak yang idealis, bersikukuh agar Nisa bisa melanjutkan kuliah. Apapun yang terjadi. Sekalipun Nisa sendiri sudah mengajukan diri untuk bekerja di luar kota. Tapi itu juga sih yang jadi alasan bapak. Masa anak gadisnya dibiarkan jauh ke luar kota? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?

Di satu sisi, Nisa tidak ingin membuat Ibu kecewa, di sisi lain Nisa senang karena Bapak mendukung Nisa kuliah, yang sebenarnya keinginan hatinya yang paling dalam juga. Namun, Nisa pesimis, dari mana Bapak dan ibu bisa membiayai pendaftaran kuliah, biaya sehari-hari kuliah, dan segala macam kebutuhan hidup selama kuliah? Kalau mengandalkan dari hasil usaha cetak gula yang sekarang dikerjakan keluarganya, tentu tak akan banyak membantu. Duh, Nisa jadi pusing!

Kejutan               


Di bab selanjutnya, saya banyak menemukan kejutan. Ternyata, Nisa jadi kuliah di Yogyakarta –karena di wilayahnya tidak ada kampus, tentu dengan pengorbanan pinjaman yang lebih besar yang dilakukan Bapak.
Kejutan selanjutnya ketika fitnah besar menimpa Nisa. Fitnah yang membuat Nisa kehilangan arah, dan balik menjadi pribadi asing. Nisa menjadi sering melakukan kesalahan-kesalahan. Bahkan dia mulai berani lancang dan menipu kedua orangtuanya. Padahal Nisa sendiri tahu bagaimana susahnya keadaan kedua orang tuanya di kampung halaman sana. Prilaku Nisa menjadi semakin buruk. Sesekali hatinya terusik mengapa dia sampai berbuat yang tidak baik.

Muhasabah

Kejadian demi kejadian, membuat Nisa akhirnya mendapat secercah hidayah. Ya, Allah Maha Pemberi Petunjuk. Hidayah yang awalnya diragukan oleh teman-teman Nisa. Namun, dengan mantap Nisa berusaha untuk bertaubat.

Dengan Maha kasih dan sayang-Nya, Allah tentu saja menerima siapapun yang benar-benar ingin memperbaiki diri, sebelum nafas berhenti.

Sebagaimana Nisa, kita pun pernah berbuat kesalahan. Dengan atau tanpa kita sadari. Maka muhasabah menjadi pesan yang kuat dalam novel ini. Barangkali, selama ini kita pandai mencari kesalahan orang lain, namun pandir melihat kesalahan sendiri. Bagi saya pribadi, novel ini telak menghantam hati.

Kelebihan novel

Karena saya mendapatkannya gratis, maka itu menjadi kelebihan tersendiri. Hahaha. #abaikan kalimat barusan.

Ya, kelebihan novel ini, sarat dengan pesan moral. Bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan. Namun, kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah, karena pintu Maaf-Nya selalu terbuka lebar bagi kita semua. Innallaha ghafurur rahim. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.

Novel ini juga dibalut alur yang happy ending! Walaupun kompleksnya kejadian yang dilewati. Bagi selera saya, happy ending itu nilai kelebihan tersendiri, hehehe. Subjektif memang.

Oia, saya juga suka terhadap kejujuran penulis dengan mencantumkan sumber-sumber dari bait-bait kalimat yang dikutip. Saya jadi makin ngaca tentang kejujuran. Betapa saya harus memperbaiki diri lagi.
Kartini Nainggolan, penulis novel ini, sungguh pandai mengajak pembaca untuk bercermin ke dalam diri masing-masing. Dengan bahasa yang mudah dicerna, membuat pembaca bisa menyelesaikan novel ini dalam sekali duduk, tanpa kehilangan esensi dari apa yang disampaikan penulis.

Oia (lagi), dalam novel ini, saya menemukan bait favorit saya, hehehe.
Pada halaman 299.
Ya Allah… ini untuk pertama kalinya Engkau mempertemukanku dengan sosok laki-laki yang memilihku bukan karena alasan “menginginkanku”, “keunggulanku”, “sebentuk emosi jiwa yang telah bersemi,” pun juga bukan “terserah kepada guru semata” atau “tidak ada pilihan lain”.
Ia datang dengan alasan mencari pasangan yang tepat, tetapi dengan kriteria yang sangat sederhana. Bahwa seseorang semestinya mencari pasangan yang tepat untuk dirinya, bukan seseorang yang semata dikaguminya atau sosok unggul yang diinginkannya, yang disukainya, tetapi juga bukan sekedar mencari pasangan seadanya.

Kekurang novel

Menurut hemat saya, kekurangan novel ini terletak pada ‘kemubadziran’ huruf. Seperti, kata-kata “Akhhhh” pada halaman 36, atau kata “Haaaaaaah” pada halaman 39, dan pada halaman-halaman lain yang sebenarnya kalaupun tidak ada kata itu, tak akan merubah arti kalimat.

Atau kata “Tes… tes…”, yang sebenarnya tidak perlu dan agak kurang nyambung menurut saya bila untuk menjelaskan tokoh sedang menangis, apalagi pada kalimat selanjutnya penulis mendeskripsikan ‘Dari mataku mengalir butiran bening…’. Padahal tanpa kata ‘Tes…tes…’ pun, pembaca akan mudah membayangkan bahwa tokoh sedang menangis menggunakan kalimat ‘dari mataku mengalir butiran bening’ tersebut.

Seperti kata Penulis Dee, bahwa biarkanlah pembaca berimajinasi tanpa harus diganggu dengan kata yang tak perlu. Ya, tapi ini hanya soal selera. Bisa diterima bisa tidak. Siapa saya juga yang sok-sok jadi editor dadakan, hehehe.

Yang jelas, kekurangan novel tersebut, sama sekali tak membuat kualitas novel ini turun. Apalagi mengingat novel ini sudah national best seller. Keren!

Yuk, baca novel ini, dan rasakan sensasinya! ^^

song by : Opick, source Youtube


Salam.
Djayanti Nakhla Andonesi
Kaumjaya, Karawang

You Might Also Like

0 komentar